UU otonomi daerah di Indonesia merupakan dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. UU otonomi daerah di Indonesia merupakan payung hukum terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelaksanaan otonomi daerah di bawah UU otonomi daerah seperti, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan seterusnya.
UU
otonomi daerah itu sendiri merupakan implementasi dari ketentuan yang tercantum
dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyebutkan otonomi daerah
sebagai bagian dari sistem tata negara Indonesia dan pelaksanaan pemerintahan
di Indonesia. Ketentuan mengenai pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia
tercantum dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan
bahwa:
“Pemerintahan
daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.
Selanjutnya
Undang-Undang Dasar 1945 memerintahkan pembentukan UU Otonomi Daerah untuk
mengatur mengenai susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah,
sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (7),
bahwa:
“Susunan
dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang”.
Ketentuan
tersebut diatas menjadi payung hukum bagi pembentukan UU otonomi daerah di
Indonesia, sementara UU otonomi daerah menjadi dasar bagi pembentukan peraturan
lain yang tingkatannya berada di bawah undang-undang menurut hirarki atau tata
urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Otonomi
daerah di Indonesia dilaksanakan segera setelah gerakan reformasi 1998.
Tepatnya pada tahun 1999 UU otonomi daerah mulai diberlakukan. Pada tahap awal
pelaksanaannya, otonomi daerah di Indonesia mulai diberlakukan berdasarkan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Setelah
diberlakukannya UU ini, terjadi perubahan yang besar terhadap struktur dan tata
laksana pemerintahan di daerah-daerah di Indonesia.
Perubahan UU Otonomi Daerah
Pada
tahap selanjutnya UU
otonomi daerah ini
mendapatkan kritik dan masukan untuk lebih disempurnakan lagi. Ada banyak
kritik dan masukan yang disampaikan sehingga dilakukan judicial review terhadap
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang otonomi daerah. Dengan
terjadinya judicial review maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah diubah dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah ini juga diikuti pula dengan perubahan peraturan
perundang-undangan lainnya yang mengatur mengenai otonomi daerah yang berfungsi
sebagai pelengkap pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia seperti Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang
selanjutnya digantikan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Sesungguhnya
UU otonomi daerah telah mengalami beberapa kali perubahan setelah disahkannya
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun perubahan tersebut
meskipun penting namun tidak bersifat substansial dan tidak terlalu memberikan
pengaruh terhadap tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah karena hanya
berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah.
Sejak
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disahkan
menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomo 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2977).
Selanjutnya
dilakukan lagi perubahan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12
tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah
PENGERTIAN, PRINSIP DAN TUJUAN OTONOMI DAERAH
1. Pengertian Otonomi Daerah
Istilah
otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan namos yang
berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan
sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu
Suryaninrat; 1985).
Beberapa
pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa :
1.
F. Sugeng Istianto,
mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus
rumah tangga daerah.
2.
Ateng Syarifuddin,
mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi
bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud
pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
3.
Syarif Saleh, berpendapat
bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah daerah sendiri. Hak
mana diperoleh dari pemerintah pusat.
Pendapat
lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah adalah
pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara
secara informal berada di luar pemerintah pusat. Sedangkan Philip Mahwood
(1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang
mempunyai kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah dengan otoritas yang
diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber sumber material yang
substansial tentang fungsi-fungsi yang berbeda.
Dengan
otonomi daerah tersebut, menurut Mariun (1979) bahwa dengan kebebasan yang
dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri,
mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk
berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar
pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat.
Kebebasan
yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan pemberian yang
harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan
bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusannya sepanjang sanggup untuk
melakukannya dan penekanannya lebih bersifat otonomi yang luas. Pendapat
tentang otonomi di atas, juga sejalan dengan yang dikemukakan Vincent Lemius
(1986) bahwa otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan
politik maupun administrasi, dengan tetap menghormati peraturan
perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk menentukan
apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan daerah senantiasa
disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Terlepas
dari itu pendapat beberapa ahli yang telah dikemukakan di atas, dalam
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah
kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Beranjak
dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya
mempunyai tiga aspek, yaitu :
1.
Aspek Hak dan Kewenangan untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2.
Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti
peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam
satu kerangka pemerintahan nasional.
3.
Aspek kemandirian dalam
pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan kewenangan dan
pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber pembiayaan
sendiri.
Yang
dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah
daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan,
pembiyaan serta perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban harus mendorong
pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional. Selanjutnya wewenang adalah
adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan
kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri.
Dengan
demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor 23 Tahun
2004, maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :
1.
Berinisiatif sendiri yaitu
harus mampu menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan sendiri.
2.
Membuat peraturan sendiri
(PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
3.
Menggali sumber-sumber
keuangan sendiri.
4.
Memiliki alat pelaksana baik
personil maupun sarana dan prasarananya.
Prinsip dan Tujuan
Otonomi Daerah
Otonomi
daerah dan daerah otonom, biasa rancu dipahami oleh masyarakat. Padahal
sebagaimana pengertian otonomi daerah di atas, jelas bahwa untuk menerapkan
otonomi daerah harus memiliki wilayah dengan batas administrasi pemerintahan
yang jelas.
Daerah
otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan dan kependudukan yang dikenal
dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan
demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau titik berat pelaksanaan
otonomi daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupaten/kota. Adapun daerah
provinsi, berotonomi secara terbatas yakni menyangkut koordinasi antar/lintas
kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang dilimpahkan pada provinsi, dan
kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu dilaksanakan maka diambil alih oleh
provinsi.
Secara
konsepsional, jika dicermati berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
dengan tidak adanya perubahan struktur daerah otonom, maka memang masih lebih
banyak ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Disisi lain, pemerintah kabupaten/kota yang daerah otonomnya terbentuk hanya
berdasarkan kesejahteraan pemerintahan, maka akan sulit untuk berotonomi secara
nyata dan bertanggungjawab di masa mendatang.
Dalam
diktum menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dikatakan bahwa
dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan
pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan
serta mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman daerah.
Otonomi
daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah otonomi luas yaitu
adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup
semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta
kewenangan-kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi maupun kewenangan yang utuh dan
bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
pengendalian dan evaluasi.
Dalam
penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan
serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan
otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban
sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud
tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan
pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat
yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan
daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Atas
dasar pemikiran di atas¸ maka prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
a.
Penyelenggaraan otonomi daerah
dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta
potensi dan keanekaragaman daerah yang terbatas.
b.
Pelaksanaan otonomi daerah
didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
c.
Pelaksanaan otonomi daerah
yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah kota, sedang
otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
d.
Pelaksanaan otonomi daerah
harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga tetap terjalin hubungan yang
serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
e.
Pelaksanaan otonomi daerah
harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah
Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
f.
Pelaksanaan otonomi daerah
harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik
fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan
pemerintah daerah.
g.
Pelaksanaan azas dekonsentrasi
diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi
untuk melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah.
h.
Pelaksanaan azas tugas
pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga
dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana
dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.
Adapun
tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan
hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat.
Sejalan
dengan pendapat di atas, The Liang Gie dalam Abdurrahman (1987) mengemukakan
bahwa tujuan pemberian otonomi daerah adalah :
a.
Mengemukakan kesadaran
bernegara/berpemerintah yang mendalam kepada rakyat diseluruh tanah air
Indonesia.
b.
Melancarkan penyerahan dana
dan daya masyarakat di daerah terutama dalam bidang perekonomian.
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN OTONOMI DAERAH
Otonomi daerah
dalam sejarah Indonesia bukanlah hal yang baru. Dalam perundang-undangan,
otonomi daerah telah diatur sejak masa Orde Baru yaitu dalam Undang-Undang No.
5 tahun 1974 tantang pokok-pokok pemenrintahan daerah (1). Tetapi pada
prakteknya, otonomi daerah tidak pernah dilaksanakan, pemerintah pusat tetap
menjalankan desentralisasi dalam hubungan antara pusat dan daerah.
Setelahnya runtuhnya Orde Baru, pemerintahan baru di bawah pimpinan Presiden Habibie mendapatkan tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan kepada beberapa pilihan menyangkut hubungan pusat dan daerah. Pertama, pemerintah pusat memberikan otonomi kepada daerah. Kedua, pembentukan negara federal dan ketiga, membuat pemerintah daerah sebagai agen murni pemerintah daerah (2).
Setelahnya runtuhnya Orde Baru, pemerintahan baru di bawah pimpinan Presiden Habibie mendapatkan tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan kepada beberapa pilihan menyangkut hubungan pusat dan daerah. Pertama, pemerintah pusat memberikan otonomi kepada daerah. Kedua, pembentukan negara federal dan ketiga, membuat pemerintah daerah sebagai agen murni pemerintah daerah (2).
Digagasnya otonomi daerah ini tentunya tidak
terlepas dari keinginan untuk pemerataan pembangunan di daerah-daerah seluruh
Indonesia, tetapi tentu saja ini tidak terlepas dari kelemahan dan kelebihan
yang dimiliki sistem otonomi daerah ini. Berikut adalah kelebihan dan kelemahan
otonomi daerah yang dapat dihimpun oleh penulis sebagai berikut:
A. Kelebihan
A. Kelebihan
- Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan
- Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutuhkan tindakan yang cepat, sehingga daerah tidak perlu menunggu intruksi dari Pemerintah pusat.
- Dalam sistem desentralisasi, dpat diadakan pembedaan (diferensial) dan pengkhususan (spesialisasi) yang berguna bagi kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi teretorial, dapat lebih muda menyesuaikan diri pada kebutuhan atau keperluan khusu daerah.
- Dengan adanya desentralisasi territorial, daerah otonomi dapat merupakan semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, yang dapat bermanfaat bagi seluruh negara. Hal-hal yang ternyata baik, dapat diterapkan diseluruh wilayah negara, sedangkan yang kurang baik dapat dibatasi pada suatu daerah tertentu saja dan oleh karena itu dapat lebih muda untuk diadakan.
- Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari Pemerintah Pusat.
- Dari segi psikolagis, desentralisasi dapat lebih memberikan kewenangan memutuskan yang lebuh beser kepada daerah.
B. Kekurangan
Di samping kebaikan tersebut di atas, otonomi daerah juga mengandung kekurangan sebagaimana pendapat Josef Riwu Kaho (1997) antara lain sebagai berikut ini:
Di samping kebaikan tersebut di atas, otonomi daerah juga mengandung kekurangan sebagaimana pendapat Josef Riwu Kaho (1997) antara lain sebagai berikut ini:
- Karena besarnya organ-organ pemerintahan maka struktur pemerintahan bertambah kompleks, yang mempersulit koordinasi.
- Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat lebih mudah terganggu.
- Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat mendorong timbulnya apa yang disebut daerahisme atau provinsialisme.
- Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama, karena memerlukan perundingan yang bertele-tele.
- Dalam penyelenggaraan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit untuk memperoleh keseragaman atau uniformitas dan kesederhanaan.